ARUNG
PALAKKA SANG PEMBEBAS RAKYAT BONE
ASSALAMUALAIKUM.WR.WB
SATU HAL YANG PERLU KITA KETAHUI BAHWA ZAMAN ARUNG PALAKKA ADALAH ZAMAN
KERAJAAN DAN BUKAN MASA PEMERINTAHAN INDONESIA
Di dalam
sejarah tanah air khususnya dan sejarah dunia umumnyaketiga ungkapan yang
disebut dalam judul di atas sering muncul.Ambillah misalnya sebagai contoh I
Manindori, yang oleh Belanda dalamGeschidenis der Nederlands Indie
disebutkan bahwa Troenodjojo werdgesteund door de uitgedreven Macassarsche zee
rovers, Trunojoyo dibantuoleh bajak laut Makassar yang terdesak keluar
dari sarangnya. Nahsiapakah itu yang dimaksud oleh Belanda dengan Macassarsche
zee roversitu? Mereka itu adalah sisa-sisa Angkatan Laut Kerajaan Gowa
yangdipimpin oleh I Manindori, yang pernah menjabat kedudukan strukturalsebagai
Kepala Daerah Galesong, sehingga bergelar Karaeng Galesong.Pada waktu
terjadinya perang melawan Kompeni Belanda, Karaeng Galesongsudah menjabat
Panglima Angkatan Laut Kerajaan Gowa. Karaeng Galesongtidak mau mengakui
Perjanjian Perdamaian Bungaya, lalu atas seizinSulthan Hasanuddin, meninggalkan
Kerajaan Gowa dengan pengikutnya yangmasih setia kepadanya, mencari daerah lain
di mana saja untukmeneruskan perjuangan melawan Belanda. Di Madura Karaeng
Galesongditerima oleh Troenojoyo bahkan diangkat menjadi menantunya.
JadiKaraeng Galesong menerapkan salah satu cappaq dari tiga cappaq senjataorang
Bugis Makassar. Ketiga cappaq (ujung) itu yakni ujung lidah(diplomasi), ujung
kemaluan (pernikahan) dan ujung badik (peperangan).
Dalam buku
sejarah yang resmi sebagai pegangan dalam sekolah-sekolah Arung Palakka
dijuluki pengkhianat karena minta bantuan Belanda untukmemerangi Sultan
Hasanuddin.
Dari
cuplikan sejarah yang di atas itu kelihatan bagaimana rancunya hasil penilaian
sejarah itu. Itu disebabkan karena dalam menilai itu perlu standar. Dan standar
itu tergantung dari kriteria yang dibuatoleh penilai. Dan biasanya penilai ini
sangat tergantung dari kondisiyang situasional. Dan inilah yang biasa terjadi
dalam sejarah.
Karaeng
Galesong dinilai oleh Belanda dengan memakai standar yangsubyektif situasional.
Karaeng Galesong tidak tunduk pada PerjanjianBungaya. Jadi kesatuannya bukanlah
kesatuan yang sah sebagai angkatanlaut suatu kerajaan. Jadi ia dan
pasukannya adalah bajak-bajak laut.Sekarang buku sejarah yang dipakai di
sekolah-sekolah bukan lagiGeschidenis der Nederlands Indie,
melainkah Sejarah Nasional. Jadi standarnya tentu sudah berubah,kriteria yang dipakai dalam penilaian sudah berubah. Karaeng Galesongadalah seorang pejuang, seorang pahlawan.
melainkah Sejarah Nasional. Jadi standarnya tentu sudah berubah,kriteria yang dipakai dalam penilaian sudah berubah. Karaeng Galesongadalah seorang pejuang, seorang pahlawan.
Baik
Sultan Hasanuddin maupun Karaeng Galesong, keduanya mujur dalamsejarah.
Mengapa? Karena kita dijajah Belanda. Jadi standar penilaianyang memakai
kriteria Latoa maupun kriteria Lamuda tidak ada perbedaan.Baik dahulu
maupun sekarang keduanya adalah pejuang melawan penjajahBelanda. Namun Arung
Palakka bernasib tidak mujur dalam sejarah, karenastandar penilaian yang Latoa
tidak sama dengan standar penilaian yangLamuda. Menurut Latoa belum dikenal apa
yang disebut dengannasionalisme Indonesia, karena paham nasionalisme itu baru
ada dalambuku Lamuda. Nah para ahli sejarah kita, atau menurut julukan
yangdiberikan oleh A.Muis para tukang dongeng, tidak berlaku adil terhadapArung
Palakka. Apa itu yang disebut adil? Menempatkan sesuatupada tempatnya.
Maka peristiwa di zamannya Arung Palakka haruslah puladitempatkan standar itu
menurut kriteria Latoa. Kalau standar penilaianArung Palakka memakai kriteria
Lamuda itu namanya tidak menempatkanstandar itu pada tempatnya, dan itu
artinya tidak adil. Artinya ArungPalakka harus dinilai menurut Latoa, yaitu
belum ada pahamnasionalisme. Kerajaan-kerajaan di Nusantara adalah
kerajaan yangmerdeka dan berdaulat masing-masing. Maka Arung Palakka adalah
pahlawanKerajaan Bone.
Lalu
apakah Arung Palakka juga seorang pahlawan kemanusiaan? Tunggudahulu, ini perlu
pembahasan, oleh karena kemanusiaan itu tidakmengenal perbedaan antara standar
yang Latoa ataupun yang Lamuda.Standar penilain yang dipakai untuk
kemanusiaan perlu standar yangtidak lekang karena panas, tidak lapuk karena
hujan. Yaitu standar yangberlandaskan nilai mutlak, standar
yang ditentukan oleh Allah SWT,seperti FirmanNya dalam S. Al Hajj 39 dan
40:
Udzina
lilladziena yuqatiluwna biannahum dzhulimuw wa inna Llaha’ala nashrihim
laqadier. Alladziena ukhrijuw min diyarihim bi qhayrihaqqin illa an yaquwluwna
rabbuna Llah, diizinkan berperang bagi merekayang dizalimi dan
sesungguhnya Allah berkuasa memenangkan mereka. Yaitumereka yang diusir dari
tanah airnya dengan tidak semena-mena, hanyakarena mereka berkata
Maha Pengatur kami adalah Allah.
La
Maddaremmeng, Raja Bone ke-13, menerapkan Syari’at Islam denganmurni dan
konsekwen. La Maddaremmeng memakai prinsip Rabbuna Llah, MahaPengaturku adalah Allah,
memakai aturan menurut Allah dalam kerajannya.Sebenarnya La Maddaremmeng ini
perlu diangkat dalam sejarah, bahwa iamendahului gerakan Paderi di Minangkabaw.
La Maddaremmeng adalahPahlawan Islam. Ia memberantas adat kebiasaan yang
bertentangan denganSyari’at Islam seperti berjudi, menyabung ayam, minum tuak.
Yaitusejalan yang dikemukakan oleh Taunta Salamaka kepada
KaraengPattingalloang. Kalau Tauanta Salamaka terpaksa meninggalkan
KerajaanGowa, maka Lamaddaremmeng bentrok dengan Kerajaan Gowa yang masihmemelihara
tradisi yang bertentangan dengan Syari’at Islam itu. Bonekalah perang, sejumlah
rakyatnya ditawan, dikerahkan ke Gowa untukkerja paksa, artinya diusir dari
tanah airnya dan dizalimi. ArungPalakka berperang untuk memberantas kezaliman
ini. Sampai sejauh iniArung Palakka masih memenuhi kriteria pahlawan
kemanusiaan itu menurutstandar Al Quran:
berperang melawan perlakuan terhadap rakyatnya yang zhulimuw, dizalimi,ukhrijuw min diyarihim, diusir dari tanah airnya untuk kerja paksa.
berperang melawan perlakuan terhadap rakyatnya yang zhulimuw, dizalimi,ukhrijuw min diyarihim, diusir dari tanah airnya untuk kerja paksa.
Nabi
bersabda: Qulilhaqqa walau kana murran, katakanlah kebenaranitu walaupun pahit.
Arung Palakka memerangi Pariaman, daerah asal MaraRusli, pengarang roman Sitti
Nurbaya dan roman sejarah La Hami. Buktisejarah bahwa Arung Palakka memerangi
dan mengalahkan Pariaman adalahpayung atribut kerajaan itu masih ada sekarang
tersimpan di Bone.Sahabat saya mantan Kepala Kanwil Perhubungan Laut, almarhum
Drs NormanRazak pernah mengeluh pada saya, katanya: Wah, nenek moyang
sayadiambil payung kebesarannya dibawa ke Bone setelah Arung Palakkamengalahkan
Pariaman.
Arung
Palakka mempunyai hak kebebasan memilih mitranya dari kerajaanmanpun. Namun
dengan memerangi Pariaman sebagai persyaratan untukmendapatkan bantuan dari
bakal mitranya, yaitu Belanda, ia bertindakmenzalimi sesama manusia, yang
dalam hal ini rakyat Pariaman. Daninilah cacat Arung Palakka untuk suatu gelar
pahlawan kemanusiaan.WaLlahu a’lamu bishshawab.
Menilai
Pelajaran Sejarah dari Peristiwa Arung Palakka
BUTON – Mungkin tak banyak yang tahu kalau Pulau
Buton (kadang disebut Butung), pernah menjadi tempat pelarian Arung Palakka
dari kejaran pasukan Sultan Hasanudin. Pelajaran sejarah yang pernah singgah
tatkala kecil dulu paling hanya menjabarkan kalau si pangeran berambut panjang
ini hanyalah seorang pengkhianat.
Ia berlari mencari bantuan VOC dan melawan pahlawan Indonesia. Tapi apakah kita tahu bahwa ternyata buat sebagian orang—khususnya orang Bone dan Buton—Arung Palaka bukanlah sosok jahat, yang seperti didiskreditkan sekarang ini.
Alkisah, sekitar tahun 1660, Bone dan Gowa bertikai. Arung Palakka sebagai salah seorang pemimpin Bone tidak bisa menerima perlakuan para bangsawan Gowa yang menindas rakyatnya. Perlakuan kerja paksa untuk membangun benteng di perkubuan daerah Makassar jelas membuat rasa siri (harga diri)-nya tercabik-cabik, apalagi setelah para bangsawan Bone juga dipaksa ikut kerja paksa tersebut.
Akhirnya bersama Tobala, pemimpin Bone yang ditunjuk oleh Gowa, mereka melakukan perlawanan dengan melarikan orang-orang Bugis dari kerja paksa tersebut. Sebenarnya para prajurit Gowa hanya mencari Tobala karena dianggap tidak mampu mengawasi budak dari Bone tersebut.
Namun Arung Palakka yang merasa tidak memiliki tempat lagi di bumi yang disebut Belanda Celebes memutuskan pergi saja untuk mencari orang yang dapat menolong mengembalikan siri mereka. Dan sebelum ia pergi ke Pulau Jawa, terlebih dahulu ia berlari ke Buton untuk mencari perlindungan Raja Buton X yang waktu itu bernama La Sombata atau lebih dikenal bergelar Sultan Aidul Rahiem.
Pada saat pasukan Gowa mencari Arung Palakka hingga ke Buton. Sultan Buton bersumpah bahwa mereka tidak menyembunyikan Arung Palakka di atas pulau mereka.
”Apabila kami berbohong, kami rela pulau ini ditutupi oleh air,” ucap Sultan Buton yang diucapkan kembali oleh salah seorang penerusnya. Ternyata sumpah tersebut dianggap sah karena pada kenyataannya Pulau Buton memang tidak pernah tenggelam hingga saat ini. Lalu di mana letak kebenaran sejarah yang menyatakan bahwa benar lokasi yang sekarang dijadikan sebagai salah satu objek wisata sejarah disana, merupakan tempat Arung Palakka bersembunyi?
Ia berlari mencari bantuan VOC dan melawan pahlawan Indonesia. Tapi apakah kita tahu bahwa ternyata buat sebagian orang—khususnya orang Bone dan Buton—Arung Palaka bukanlah sosok jahat, yang seperti didiskreditkan sekarang ini.
Alkisah, sekitar tahun 1660, Bone dan Gowa bertikai. Arung Palakka sebagai salah seorang pemimpin Bone tidak bisa menerima perlakuan para bangsawan Gowa yang menindas rakyatnya. Perlakuan kerja paksa untuk membangun benteng di perkubuan daerah Makassar jelas membuat rasa siri (harga diri)-nya tercabik-cabik, apalagi setelah para bangsawan Bone juga dipaksa ikut kerja paksa tersebut.
Akhirnya bersama Tobala, pemimpin Bone yang ditunjuk oleh Gowa, mereka melakukan perlawanan dengan melarikan orang-orang Bugis dari kerja paksa tersebut. Sebenarnya para prajurit Gowa hanya mencari Tobala karena dianggap tidak mampu mengawasi budak dari Bone tersebut.
Namun Arung Palakka yang merasa tidak memiliki tempat lagi di bumi yang disebut Belanda Celebes memutuskan pergi saja untuk mencari orang yang dapat menolong mengembalikan siri mereka. Dan sebelum ia pergi ke Pulau Jawa, terlebih dahulu ia berlari ke Buton untuk mencari perlindungan Raja Buton X yang waktu itu bernama La Sombata atau lebih dikenal bergelar Sultan Aidul Rahiem.
Pada saat pasukan Gowa mencari Arung Palakka hingga ke Buton. Sultan Buton bersumpah bahwa mereka tidak menyembunyikan Arung Palakka di atas pulau mereka.
”Apabila kami berbohong, kami rela pulau ini ditutupi oleh air,” ucap Sultan Buton yang diucapkan kembali oleh salah seorang penerusnya. Ternyata sumpah tersebut dianggap sah karena pada kenyataannya Pulau Buton memang tidak pernah tenggelam hingga saat ini. Lalu di mana letak kebenaran sejarah yang menyatakan bahwa benar lokasi yang sekarang dijadikan sebagai salah satu objek wisata sejarah disana, merupakan tempat Arung Palakka bersembunyi?
Ceruk
Sistem batuan di daerah Buton bisa jadi merupakan salah satu alasan yang jelas mengenai hal ini. Daerah batuan berkarang dengan ceruk-ceruk kecil di sepanjang bukitnya, sangat menggambarkan kebenaran sejarah tersebut.
Pernyataan Sultan Buton pada saat menyembunyikan Arung Palakka dianggap benar. Mereka tidak menyembunyikan Arung Palakka di atas dataran tanah mereka. Namun di antara ceruk-ceruk tersebut. Yang menurut pendapat orang Buton bukanlah sebuah dataran, melainkan goa, yang berada di dalam tanah. Kepintaran bersilat lidah Sultan Buton inilah yang akhirnya menyelamatkan Arung Palakka dari pengejaran pasukan Gowa.
Hal ini juga dibenarkan oleh pemuka adat setempat yang bernama La Ode Hafi’i. Ia menjelaskan bahwa antara kesultanan Buton dan Bone sejak dahulu memang telah terikat dalam perjanjian sebagai saudara. ”Bone raja di darat, Buton raja di laut,” ucapnya memberitahu isi ikatan tersebut pada saya, akhir bulan lalu.
Hal itu juga yang mendasari mengapa Sultan Buton memutuskan menolong Arung Palakka dan turut membiayai Arung Palakka bersama 400 lebih pengikutnya menuju Batavia.
Ceruk bersejarah tersebut kini berada di sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Bau-Bau. Tak sulit mencarinya karena berada tak jauh dari benteng Wolio, yang terletak di daerah paling tinggi di Pulau Buton.
Menuju ke ceruk tersebut juga tidak sulit. Hanya daerahnya yang agak terjal membuat kita harus agak berhati-hati melewatinya.
Saat saya akhirnya tiba di goa tersebut. Hilang semua pemikiran saya mengenai gambar sebuah goa pada umumnya di Jawa. Tempat persembunyian Arung Palakka tersebut lebih pantas bila dikatakan ceruk dengan air yang terus menetes-netes dari atapnya.
Kemudian ada sedikit daerah yang kini diberi plesteran semen, yang disinyalir sebagai tempat Arung Palakka duduk bersembunyi. Tak bisa kita berdiri tegak di sini, agak bungkuk untuk menghindari bagian tajam yang menghiasi atas ceruk. Namun dapat dipastikan, banyaknya air yang terus menetes dari atas ceruk yang bisa membuat Aru Palakka bisa bertahan lama di sana.
Sistem batuan di daerah Buton bisa jadi merupakan salah satu alasan yang jelas mengenai hal ini. Daerah batuan berkarang dengan ceruk-ceruk kecil di sepanjang bukitnya, sangat menggambarkan kebenaran sejarah tersebut.
Pernyataan Sultan Buton pada saat menyembunyikan Arung Palakka dianggap benar. Mereka tidak menyembunyikan Arung Palakka di atas dataran tanah mereka. Namun di antara ceruk-ceruk tersebut. Yang menurut pendapat orang Buton bukanlah sebuah dataran, melainkan goa, yang berada di dalam tanah. Kepintaran bersilat lidah Sultan Buton inilah yang akhirnya menyelamatkan Arung Palakka dari pengejaran pasukan Gowa.
Hal ini juga dibenarkan oleh pemuka adat setempat yang bernama La Ode Hafi’i. Ia menjelaskan bahwa antara kesultanan Buton dan Bone sejak dahulu memang telah terikat dalam perjanjian sebagai saudara. ”Bone raja di darat, Buton raja di laut,” ucapnya memberitahu isi ikatan tersebut pada saya, akhir bulan lalu.
Hal itu juga yang mendasari mengapa Sultan Buton memutuskan menolong Arung Palakka dan turut membiayai Arung Palakka bersama 400 lebih pengikutnya menuju Batavia.
Ceruk bersejarah tersebut kini berada di sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Bau-Bau. Tak sulit mencarinya karena berada tak jauh dari benteng Wolio, yang terletak di daerah paling tinggi di Pulau Buton.
Menuju ke ceruk tersebut juga tidak sulit. Hanya daerahnya yang agak terjal membuat kita harus agak berhati-hati melewatinya.
Saat saya akhirnya tiba di goa tersebut. Hilang semua pemikiran saya mengenai gambar sebuah goa pada umumnya di Jawa. Tempat persembunyian Arung Palakka tersebut lebih pantas bila dikatakan ceruk dengan air yang terus menetes-netes dari atapnya.
Kemudian ada sedikit daerah yang kini diberi plesteran semen, yang disinyalir sebagai tempat Arung Palakka duduk bersembunyi. Tak bisa kita berdiri tegak di sini, agak bungkuk untuk menghindari bagian tajam yang menghiasi atas ceruk. Namun dapat dipastikan, banyaknya air yang terus menetes dari atas ceruk yang bisa membuat Aru Palakka bisa bertahan lama di sana.
Rumah Adat
Hal keberadaan singgahnya Aru Palakka kemudian dikuatkan juga oleh pernyataan ahli waris kesultanan Buton. Keluarga istana yang rumah tinggalnya kini dijadikan rumah adat. Yang bisa didatangi siapa saja untuk menjelaskan keberadaan rakyat Buton, juga tidak menyangkal hal tersebut. Di rumah adat berkamar enam dan berlantai dua itu, juga terpampang foto dan patung Arung Palakka. Ini menandakan memang benar keberpihakan kesultanan Buton pada Arung Palakka. Bahkan mereka tidak merasa itu sebuah kesalahan, karena memang perjanjian adat yang ada sudah mengikat mereka dengan Bone.
Terlepas dari benar tidaknya sejarah tersebut. Satu yang harus dicatat, adalah mengenai tingginya perhatian masyarakat Buton terhadap masa lalunya. Bahkan dengan Arung Palakka yang relatif orang luar Buton (dan dianggap pengkhianat pada masa Orde Baru), mereka tetap mengenang keberadaannya di sana.
Lalu timbul pertanyaan, masih tersisakah rasa penghormatan itu pada diri manusia Indonesia pada umumnya kini? Pahlawan sendiri kadang kita lupakan juga.
Hal keberadaan singgahnya Aru Palakka kemudian dikuatkan juga oleh pernyataan ahli waris kesultanan Buton. Keluarga istana yang rumah tinggalnya kini dijadikan rumah adat. Yang bisa didatangi siapa saja untuk menjelaskan keberadaan rakyat Buton, juga tidak menyangkal hal tersebut. Di rumah adat berkamar enam dan berlantai dua itu, juga terpampang foto dan patung Arung Palakka. Ini menandakan memang benar keberpihakan kesultanan Buton pada Arung Palakka. Bahkan mereka tidak merasa itu sebuah kesalahan, karena memang perjanjian adat yang ada sudah mengikat mereka dengan Bone.
Terlepas dari benar tidaknya sejarah tersebut. Satu yang harus dicatat, adalah mengenai tingginya perhatian masyarakat Buton terhadap masa lalunya. Bahkan dengan Arung Palakka yang relatif orang luar Buton (dan dianggap pengkhianat pada masa Orde Baru), mereka tetap mengenang keberadaannya di sana.
Lalu timbul pertanyaan, masih tersisakah rasa penghormatan itu pada diri manusia Indonesia pada umumnya kini? Pahlawan sendiri kadang kita lupakan juga.
Facebook:
rahasiakitaberdua12@yahoo.co.id/armankmaulana112@yahoo.co.id
SALAM
PERSAUDARAAN: SULAIMAN
ASSALAMUALAIKUM
WR.WB
No comments:
Post a Comment